Oleh : Nurul Hidayah As-Syahry Mentari mulai masuk keperaduannya menyisakan langit senja. Tak ada panas juga cahaya menyilaukan san...
Oleh : Nurul Hidayah As-Syahry
Mentari mulai masuk keperaduannya menyisakan
langit senja. Tak ada panas juga cahaya menyilaukan sang mentari,
semuanya mulai redup. Perlahan-lahan alam mulai beranjak pekat, kesiur angin
malam melambai-lambai menyapa kulit. Dingin terasa mencekam. Hanya ada cahaya
rembulan diatas sana, gelap. Tak ada lampu cahaya yang menerangi.
Di
dalam sebuah kamar, di sebuah rumah besar terdengar isak tangis kecil menemani
malam yang sunyi. Kamar itu gelap. Seperti tak ada kehidupan didalamnya, hanya
isak tangis itu yang menandakan adanya kehidupan disana. Rumah itu sepi.
Terlihat hanya ada seorang wanita berumur sekitar 40 tahun yang sedari tadi
terus mengetuk pintu kamar itu dengan raut wajah khawatir.
TOK........TOK..........TOK....
“Neng Mawar.” Ucap wanita itu setengah berteriak. “Ayo neng buka pintunya.” Pinta
wanita itu memelas.
Wanita
itu adalah Bi Iyem. Seorang pembantu rumah tangga di rumah besar itu. Bi Iyem
sudah mengabdikan dirinya kurang lebih selama 20 tahun pada keluarga PRASETYO, keluarga terpandang di Jakarta.
Tak
lama kemudian....
Terdengar suara pintu yang dibuka dengan
sangat pelan. Ketika pintu itu terbuka bi Iyem melihat seorang anak gadis
cantik berumur sekitar 15 tahun, berdiri diambang pintu dengan wajah sendu, dia
menatap bi Iyem dengan tatapan kosong. Tanpa berpikir apapun lagi Bi Iyem
langsung memeluk gadis itu dengan penuh kasih sayang.
“Neng
Mawar kenapa? kok dari tadi siang Neng gak mau keluar kamar, makanan yang bibi
anterin juga gak disentuh sama sekali.” Ucap Bi Iyem lembut. Dengan air mata
berlinang Mawar mulai menjawab pertanyaan sang bibi.
“Aku kangen bi sama mamah sama papah. Tapi
kenapa mereka selalu sibuk dengan urusan mereka dan gak pernah punya waktu
sedikitpun buat aku? mereka lebih mementingkan pekerjaan mereka daripada aku, padahal
aku ini anaknya.” Bi Iyem mengangguk paham. Ia sangat mengerti dengan apa yang
dirasakan oleh anak majikannya itu.
“Bibi
ngerti, tapi Neng Mawar juga harus paham, itu semua kan buat kebaikan Neng
juga.” ucap Bi Iyem. Mawar tak menjawab apapun. “Ya sudah sekarang Neng Mawar
makan dulu yah, abis itu tidur. Nanti bibi bacain dongeng tentang seorang putri
yang cantik dan baik hati. Neng Mawar mau kan?” Mawar mengangguk. Mawar sudah
menganggap Bi Iyem seperti ibunya sendiri. Hanya Bi Iyem yang dapat mengerti
perasaannya.
Mawar
adalah seorang gadis cantik yang menjalani masa remajanya hanya dengan berteman
sepi. Orang tua Mawar adalah seorang pengusaha sukses di Jakarta. Mereka
mempunyai 3 cabang perusahaan tambang emas. Karena kesibukannya, mereka jarang
bertemu, meskipun hanya sekedar berbincang-bincang. Orang tua Mawar mempercayakan
Mawar kepada Bi Iyem yang telah merawat Mawar dari bayi hingga besar seperti
saat ini.
Waktu
seperti berlalu begitu cepat. Hari ini tepat pada tanggal 28 juni adalah hari
kelahiran Mawar dari rahim seorang ibu yang penuh dengan perjuangan melahirkan
Mawar. Seperti biasa orang tua Mawar masih sibuk bekerja di luar negeri,
mungkin baru lusa akan datang. Mawar tidak bisa membohongi dirinya kalau ia
sangat sedih, karna di moment yang spesial ini tidak ada yang mengingatnya,
kecuali Bi Iyem.
Bi Iyem membawakan kue tart berukuran kecil
berwarna pink yang di atasnya terlapisi coklat lilin ber-angka 16 yang
bertengger di atasnya, Yah kini Mawar sudah beranjak semakin dewasa. Dan selama
itu pula Mawar kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya yang selalu
sibuk dengan dunia mereka sendiri. Mawar bersyukur karena Allah masih
menyayanginya dengan mengirimkan sosok malaikat yang baik hati seperti Bi Iyem.
“Selamat
ulang tahun Neng Mawar, semoga dengan bertambahnya umur bertambah pula
kedewasaan Neng Mawar. Diberikan umur yang berkah serta semakin sabar dalam
menghadapi cobaan hidup. Aminnnnn....” Mawar memeluk Bi Iyem erat. Ia menangis dipelukan
orang yang selama ini ia anggap sebagai orang tuanya sendiri. Ia sudah terbiasa
dengan kesunyian menjalani hidup dengan seorang pembantu. Ralat, ia tidak
pernah menganggap Bi Iyem sebagai pembantu, tapi, juga sebagai sosok seorang
ibu yang selalu ada disaat ia butuh.
“Makasih
ya karena bibi udah inget ulang tahun Mawar, makasih juga karena bibi udah jadi
sahabat yang baik buat Mawar, bibi selalu mengerti apa yang Mawar mau, Cuma
bibi yang bisa mengerti Mawar.” Ucapnya dengan tersenyum.
Orang tuanya mampu memberi materi yang lebih
untuk mencukupkan hidupnya. Namun Bi Iyem mampu memberi kasih sayang yang
tulus, dan menjadi sahabat yang baik untuk Mawar.
“Mawar
gak habis pikir bi, kenapa mamah dan papah gak inget hari ulang tahun Mawar?”
Gumamnya sedih. “Udah Neng Mawar jangan sedih yah, bibi yakin mamah sama papah neng Mawar pasti inget, Cuma kan sekarang mereka lagi di luar negeri”. Ucap Bi
Iyem menyemangati Mawar.
2 hari kemudian...
Mamah
dan Papah Mawar datang dari luar negeri. Mereka datang membawakan Mawar 3
boneka melody kesukaan Mawar, dari yang berukuran kecil, sedang, hingga yang
paling besar. Mawar menerimanya dengan setengah hati. Karena bukan itu yang
Mawar inginkan, ia hanya ingin orang tuanya punya waktu bersama bukan seperti
saat ini yang hanya mementingkan pekerjaan...pekerjaan...dan pekerjaan.
“Emang hanya dengan materi bisa membuat hati
orang bahagia apa?!” batinnya kesal.
“Selamat
ulang tahun yah sayang, maaf mamah sama papah baru bisa kasih ini semua
sekarang. Mamah harap Mawar bisa membanggakan mamah dan papah.” Ucap mamah
Mawar sambil memeluk anak semata wayangnya.
Hari
berganti bulan, bulan berganti tahun. Mawar menjalani masa remajanya dengan
suka cita. Di suatu malam yang sunyi, Mawar duduk termenung sepi di balkon
rumahnya yang megah. Di situlah ia selalu merenungkan hidupnya, ia mencurahkan
segala isi hatinya lewat tulisan cerita hidupnya, diary. Air matanya menjadi
saksi bisu. Ia selalu iri ketika melihat teman-temanya yang di antar jemput
oleh orang tuanya, sedangkan ia hanya diantar jemput oleh sopir pribadinya, pak Aryo.
“Kenapa
sih aku gak bisa kayak mereka? Sekolah diantar jemput orang tuanya, sedangkan
aku? boro-boro diantar jemput, ketemu di rumah aja jarang.” Gumamnya sedih.
Mawar
tidak berputus asa, ia tetap sabar dalam menghadapi semua cobaan yang datang di
kehidupannya. Hingga suatu hari Mawar sedih karena selalu di bully oleh
teman-temannya.
“Kasian
dech loch gak punya orang tua yang perhatian, makanya kalau punya orang tua tuh
yang perhatian. Hahahaha.” Ejek teman-temannya. Dengan berlinang air mata Mawar
pun pergi dan masuk kedalam mobil jemputannya. Pak Aryo terkejut melihat anak
majikannya masuk ke mobil dengan linangan air mata.
“Neng Mawar kenapa nangis?” Tanya pak Aryo, sopir pribadinya. Mawar tidak menjawab dan terus menangis. Dirinya terlalu
rapuh untuk menanggung semua ini.
Ketika sampai di rumahnya, Mawar keluar dan
berlari masuk ke dalam kamarnya. ia membanting pintu dengan keras. Bi Iyem yang
melihat kejadian tersebut hanya terpaku, terdiam membisu. Ia mengerti dengan
perasaan Mawar saat ini, baginya Mawar adalah sosok gadis yang sabar dalam
mengarungi samudera kehidupannya. Seharusnya saat ini Mawar hidup dalam belaian
hangat kasih sayang dari orang tuanya. Seringkali ia melihat Mawar pulang
sekolah dengan tangisan, itu bukan hal pertama yang terjadi.
Malam
harinya.....
Mawar sedang melamun di balkon kamarnya,
tiba-tiba pintu kamarnya diketuk.
TOK...TOK...TOK...
“Neng
Mawar keluar Neng sebentar, nyonya sama tuan telah datang.” Tanpa semangat
Mawar keluar dari kamarnya dengan wajah sendu. Ketika sampai di ruang
keluarganya ia melihat mamah dan papahnya yang sedang duduk bersantai ditemani
es teh manis dan camilan-camilan di meja bundar berwarna coklat. Ia pun
menghampiri orang tuanya dan duduk di samping mamahnya.
“Sayang
mamah kangen sama kamu.” Mawar hanya terdiam, ia tidak tau reaksi seperti apa
yang harus ia tunjukan kepada orang tuanya. “Maafin mamah sama papah yah
sayang, kita kerja keras kaya gini juga semuanya kan demi kamu.” Ujar mamahnya
sambil mengelus rambut Mawar dengan lembut.
“Demi Mawar gimana? Setiap hari mamah dan
papah hanya sibuk dengan dunia kalian masing-masing, sedangkan aku? Aku yang
seharusnya hidup dan tumbuh dalam dekapan kasih sayang kalian, tapi kalian dengan
teganya masrahin aku ke Bi Iyem? apa itu yang dinamain sayang? ” Ucap Mawar. Ia
sudah tak tahan untuk meluapkan semua yang ada di hatinya saat ini.
“Iya sayang mamah ngerti, tapi ini semua buat
kamu biar kamu senang karena cuma kamu anak satu-satunya mama.” Mamah Mawar mengerti kalau selama ini mereka tidak punya waktu luang
untuk anaknya, meskipun hanya sekedar makan diluar bersama.
Kehidupan
seperti itu terus berlanjut hingga Mawar berusia 17 tahun.
Suatu
hari Mawar memberitahukan kepada orang tuanya bahwa ia akan diutus sekolahnya
untuk mengikuti lomba cerdas cermat tingkat provinsi. Mawar berharap orang
tuanya mempunyai waktu luang untuk menyaksikan anaknya. Tapi, lagi-lagi ia
merasakan kecewa karena orang tuanya tidak bisa menemaninya karena harus
meeting dengan pemerintah pejabat Dubai.
“Mamah
gak janji yah sayang, nanti kalo urusan mamah udah selesai mamah akan usahain
datang. Nanti kamu ditemani sama Bi Iyem yah?” Ucap mamah Mawar di sebrang
sana.
“Lagi-lagi Bi Iyem. Sebenarnya yang orang
tuaku itu siapa sih? mereka atau Bi Iyem?” Batin Mawar bertanya-tanya.
Hari-hari
Mawar disibukkan oleh kegiatan persiapan cerdas cermat bersama sahabatnya,
Akyla. Satu-satunya teman yang selalu membelanya di saat ia dibully oleh
teman-temannya. Mereka harus memberikan yang terbaik untuk sekolahnya.
Hari
yang dinanti pun telah tiba, Mawar merasakan hatinya berdebar-debar, Bi Iyem
selalu menyemangati Mawar.
“Pokonya Neng Mawar harus semangat, bibi yakin
kalau Neng Mawar bisa menjadi yang terbaik. Tunjukkan kepada orang tua Neng
kalau Neng bisa membuat mereka bangga. Yakinlah Neng kalo proses takkan
membohongi hasil.” Kata Bi Iyem menyemangati. Kata-kata Bi Iyem seakan menjadi
kekuatan bagi Mawar untuk terus semangat. Ia harus membuktikan kepada orang
tuanya bahwa ia bisa menjadi anak yang membanggakan untuk orang tuanya.
Mawar
mengikuti lomba dengan optimis. Sampai pengumuman pemenang lomba cerdas cermat
tingkat provinsi di umumkan pun Mawar tidak melihat sosok orang tuanya,
ternyata benar orang tuanya tidak datang. Ia bersedih karena orang tuanya tidak
menyaksikan keberhasilannya saat ini, padahal ia ingin mempersembahkan piala
ini untuk orang mereka.
“Bibi,
Mawar ingin mempersembahkan piala ini untuk mamah dan papah, meskipun mereka tidak ikut serta dalam moment bahagia kali ini, Mawar yakin kalau do’a mereka selalu menyertai Mawar. Mereka pasti akan
bangga dengan piala yang sekarang ada di tangan Mawar. Mawar ingin cepat-cepat
memberitahukan kabar bahagia ini sama mereka.” Ucap Mawar dengan mata
berbinar-binar.
Ketika
acara selesai, Mawar dan Bi Iyem berjalan ke arah dimana mobil mereka
diparkirkan. Ketika Mawar sedang berjalan, ia seperti melihat bayangan mamahnya
di seberang jalan. Mawar pun berlari mengejar bayangan tersebut sambil
berteriak
“Mamah..........”
Tiba-tiba dari arah barat mobil Kijang Innova
melaju dengan kecepatan tinggi. Berbarengan dengan itu terdengar suara benturan
keras.
DUUUMMM
“Neng Mawar.......” Bi Iyem berlari sambil
menangis menghampiri Mawar yang sudah tergeletak bersimbah darah. Hidungnya
mengeluarkan darah segar. Piala itu masih ada dalam dekapan Mawar yang
berlumuran darah. Mawar pun dibawa ke R.S GADING PLUIT, KELAPA GADING JAKARTA
UTARA.
Pak
Aryo menghubungi majikannya, orang tua Mawar langsug terbang dari Dubai ke Indonesia. Ketika sampai di rumah sakit, mereka melihat anak semata
wayangnya terbaring lemah, kepalanya diperban. Bi Iyem menyerahkan sepucuk
surat dan sebuah piala kepada Nyonya Raya, majikannya.
“Surat itu ditemukan di kantong baju yang Neng
Mawar kenakan. Dan piala ini Neng Mawar persembahkan untuk tuan dan nyonya.”
Nyonya rayapun sangat terharu mendengar
penuturan dari pembantunya itu. Ia pandangi piala itu, seketika hatinya
basah. Ia bangga dengan Mawar, anak semata wayangnya. Ia merasa sangat bersalah
karena tak bisa menemaninya menjalani masa remajanya. Dengan perasaan yang tak
menentu, perlahan-lahan ia buka surat yang berwarna merah jambu itu.
Buat mama dan papa yang Mawar sayangi
“Mawar bangga jadi anak kalian, walaupun kalian gak pernah
ada disaat Mawar butuh. Hanya ada bi Iyem dan pak Aryo yang selalu setia
menemani Mawar kemanapun Mawar pergi.
Mawar ingin sekali seperti temen-temen Mawar yang lain,
yang selalu diantar jemput orang tuanya dan ditemani disaat ada moment-moment
special. Kalian memang bisa memberikan segala hal buat Mawar, tapi kalian tidak bisa memberi waktu luang kalian buat
Mawar. Seandainya Mawar dapat membeli waktu kalian Mawar akan membelinya untuk
kebersamaan kita meskipun hanya sebentar saja.
Mawar ingin memberikan yang terbaik buat kalian dan Mawar
akan persembahkan suatu prestasi yang akan membuat kalian bangga sama Mawar.
Mamah, papah meskipun kalian jarang berkumpul sama Mawar
tapi Mawar sayang kalian. Kalian bekerja keras demi menghidupi Mawar. Kalian
mampu memberikan hidup serba mewah pada Mawar, tapi asal papa dan mama tahu, bukan itu yang Mawar inginkan...... Mawar hanya
ingin kebersamaan.
Mamah, papah Mawar sayang kalian.... yang pasti Mawar
juga sayang sama bi Iyem dan pak Aryo, yang menjadi penyemangat Mawar selama
ini.
Terima kasih buat yang telah sayang sama Mawar, Mawar
sayang kalian..
Mawar merindukan kasih sayang papah dan mamah.”
Tetesan
air mata itu mengalir seiring kata-kata Mawar yang seakan berngaung di telinga
mamahnya. Sang mamah sadar bahwa selama ini kesibukannya telah membuat Mawar
terluka. Serbuan rasa bersalah tiba-tiba seperti menghantam telak jiwanya.
“Maafin mamah ya sayang, mulai sekarang mamah
janji akan lebih memperhatikan kamu karena cuma kamu buah hati mamah.” Ucap
mamahnya dengan air mata yang mengalir di pipinya.
Mulai saat itu hidup Mawar pun berubah lebih
indah. Kini papah dan mamahnya lebih sering menemaninya di rumah. Inilah saat
yang Mawar rindukan. Akhirnya Mawar dapat menjalani hidupnya dengan penuh
kebahagiaan. Musibah saat itu memberikan perubahan positif pada kehidupan Mawar
sekarang. Ia terlihat sangat bahagia bisa hidup di tengah orang-orang yang
Mawar sayangi.
“Terima kasih buat mamah, papah, bik Iyem dan
pak Aryo yang telah menjadi penyemangat hidup Mawar. Mawar sayang kalian
semua.” Gumamnya bahagia.
Waktu akan selalu memberi kita pelajaran,
hidup akan terus berlanjut meski terkadang ada rasa rindu pada masa kecil, masa
lalu yang indah. Tapi aku sadar aku seharusnya menjadi anak yang membuat mereka
bangga dengan hasil kerja kerasku. Kini, saatnya aku yang membahagiakan mereka.
*Penulis merupakan mahasiswi semester III Prodi PIAUD*
COMMENTS